Loading...
Saturday, 30 March 2013

Pahlawan Itu Boleh Siapa Saja

Jumlah pahlawan yang dihafal nama-namanya sudah amat banyak. Tapi jumlah pahlawan yang ditiru perilakunya, sungguh butuh didata. Pendataan itu bisa di tingkat negara, masyarakat, tetangga , atau malah sekadar di dalam rumah kita. Target kepahlawanan itu tak harus selalu berujung menjadikan nama seseorang menjadi nama jalan. Ia juga boleh berupa seorang bapak yang  namanya bahkan tak layak menjadi nama gang, tapi itulah  nama yang dirawat dengan rasa hormat di hati anak-anaknya. Itulah nama suami yang  jika  disebut segera menenteramkan istri. Itulah nama tetangga yang selalu dingat karena keramahannya dan bukan  karena wajah konfliknya.

Pahlawan-pahlawan  besar itu butuh diterjemahkan ke dalam perilaku-perilaku sederhana karena bagi  sebagian orang mereka terlalu besar. Saking besarnya menjadi agak sulit untuk ditiru. Data sejarah kita merekam dengan sangat butuk fakta-fakta yang dibutuhkan untuk penduplikasian nilai  itu. Di dalam sejarah Indonesia, tahun perang Pangeran Diponegoro jauh lebih banyak diingat katimbang perilaku kepahlawanannya. Bahwa Diponegoro berperang melawan Belanda itu jelas, tetapi yang belum jelas ialah adalah apakah ia gemar jalan-jalan pagi, merawat tanaman dan gemar bercanda dan bersikap lembah-lembut pada  anak-anak.

Sungguh, saya sering terpukau kepada soal-soal sederhana semacam itu. Saya terpukau  kepada pemijat yang menangani saya saat keselo berat ini. Tangan orang ini lembut sekali untuk ukuran laki-laki. Bukan cuma tangannya. Kedatangannya pun lembut. Tak banyak berkomunikasi, tetapi akurat dalam deteksi. Saya tak perlu memberi banyak keterangan karena ia juga tak minta banyak keterangan. Karena di dalam sikap diamnya, saya lihat ia sibuk sekali. Ia sibuk berkomunikasi dengan  tubuh saya dan dirinya sendiri. Kata-kata dari mulut saya baginya tidak sepenting kata-kata dari tubuh saya . Ia sibuk membaca tubuh karena baginya, tubuh pasti lebih jujur katimbang mulut saya.

Ia memburu urat itu dengan ketelatenan seorang  empu. Urat sakit itu tidak langsung dituju. Ia dipancing dari sini, di cegat dari situ dikepung, dikitari, dipanggil dari jauh, didekati pelan-pelan lalu dijinakkan dengan tenang. Pemijat ini mengingatkan  saya pada Musashi ketika telah menjadi pendekar pedang. Ketika itulah ia malah amat hemat bermain pedang. Untuk menundukkan lawan, ia sekadar memberinya takaran. Kadang-kadang ia menangkap lalat cukup dengan sumpitnya kadang-kadang ia hanya menebas  dedaunan, dan pihak lawan akan sadar  ukuran.

Behadapan dengan pemijat sekelas  ini, maka saya  tahu diri. Saya memilih diam dan sepenuhnya menunggu instruksi. Hanya sepatah dua patah katanya. Kalau tidak tengkurap, ya telentang. Kalau tidak  miring ya duduk.  Ia baru menjelaskan agak panjang kalau pijatannya membutuhkan kerjasama saya. Misalnya,  karena ada titik pijat yang terdapat tepat di urat geli, ia membutuhkan kolaborasi. Sementara ia memijat saya diperintah untuk bertahan sekuat hati. Tidak sakit, tapi geli. Tetapi kegeliaan pun  menyakitkan. Itulah yang tampaknya ia antisipasi. Jadi orang ini menakar dengan baik kebutuhan komunikasinya. Ia bicara jika harus berbicara, ia  diam jika memang hars diam dan bukan sebaliknya.

Melihat prosesnya memijat dan  sekaligus merasakan hasilnya, akhirnya saya  tak tahan untk tidak bertanya, dari mana semua kemampuan ini bermula. Ia jawab dari ayahnya. Begitu ia menyebut sosok ayah, fokus saya segera berpindah pada figur  ayah seperti  apa yang bisa membentuk anak seperti ini. Dan pemijat ini terpaksa  bercerita tentang ayahnya yang tidak  banyak berkata-kata. Seluruh yang dilihat dari orang tua itu hanyalah perbuatan. Jika ia meminta anaknya menyapu, ayah itulah yang akan mengambil sapu yang pertama. Jika ayah itu usai makan, ia membawa sendiri piringnya ke belakang  dan mencucinya. Jika ia menyumbang rumah ibadah, ia lakukan diam-dia dan anak-anaknya baru mengerti setelah panitia sendiri yang membuka rahasia ini.

Jadi hampir dari seluruh pendidikan yang ia terima dari ayahnya, cuma berisi peragaan bukan pernyataan. Jadi, jelas sekarang, jejak para pahlawan itu tak cukup disadap  hanya dari teks-teks  sejarah yang diajarkan di sekolah. Karena untuk bisa  belajar dari kebesaran  sejarah, keterlibatan kesejarahan itu harus sedemikain rupa dekatnya dengan hidup kita.  Ayah si pemijat ini pasti  tak pernah tercatat sebagai pahlawan  yang diabadikan  sebagai nama jalan. Tetapi pengaruhnya nyata sekali bagi  kehidupan. Sementara banyak  kebesaran pahlawan yang hanya terasa jejaknya sebagai nama-nama, karena ia tak pernah benar-benar didekatkan.

Prie GS, pengagum pahlawan, tinggal di Semarang.

0 komentar:

Post a Comment

 
TOP